Disiniajatempat, Suatu saat, di rumah sakit di mana ayah saya jadi ketua yayasannya, ada seorang pasien dari Nias yang sedang dalam pemulihan tetapi ia tidak punya keluarga sama sekali di Solo.
Ceritanya, ia datang dari Nias untuk mengikuti seminar di Solo. Tiba-tiba ia sakit keras, dibawa ke RS tersebut, lalu setelah selesai ditangani, pihak rumah sakit kebingungan karena orang ini masih perlu dirawat jalan tetapi ia tidak punya teman dan sanak keluarga di Solo. Lalu RS menelepon ayah saya, dan mendengar hal ini, ibu saya berkata bahwa biarlah bapak tersebut dirawat di rumah kami.
Selama tiga bulan, bapak ini dirawat dengan telaten.
Ia tidak bisa bangun dari tempat tidur, makanan harus diblender, dan ia hanya bisa makan ikan karena terbiasa demikian di kampung halaman. Jadilah ibu beli blender khusus untuk ikan dan menyiapkan seseorang untuk mengurus beliau.
Semua biaya juga ditanggung ibu saya, termasuk biaya obat, interlokal ke Nias, dll. Kalau dipikir, saudara juga bukan, kenal juga tidak, tapi ibu saya mau menerima orang tersebut di rumah kami dan membiayai semua keperluannya.
Sepertinya, ibu saya di pihak yang rugi dalam keadaan ini, tetapi ternyata justru pengorbananan dan kebaikan membawa kebahagiaan. Profesor Sonja Lyubomirsky mengadakan percobaan. Ia meminta siswanya melakukan kebaikan apa saja selama 10 minggu.
Ternyata tingkat kebahagiaan pada siswa di kelas itu meningkat, dan efek kebahagiaan ini sudah bisa dirasakan dalam 15 hari pertama mereka melakukan kebaikan. Memberi bukan berarti berkurang, berbuat baik tidak berarti rugi. Kata William John Bennett, "Perbuatan yang baik dan penuh kasih biasanya membawa upah yang sama." (EI)
Ketika Saya Muda, Saya Mengagumi Orang Yang Pintar. Sekarang Saya Tua, Saya Mengagumi Orang Yang Baik (Abraham Joshua Heschel)