Saat saya kecil, Lebaran selalu menyenangkan karena kami pergi mengunjungi para tetangga dan makan berkali-kali di sana sini. Salah satu acara tetap adalah sungkem pada Eyang Putri, yaitu nenek buyut dari tetangga saya. Beliau tidak ingat lahir tahun berapa, kira-kira usianya 100 tahun. Beliau selalu memakai kebaya, mulutnya merah karena nginang (mengunyah daun sirih) dan hanya bisa berbicara dan menulis huruf Jawa kuno. Kompleks kami memang menyenangkan. Saat Idul Fitri kami buat halal bihalal bersama, saat Natal kami juga makan-makan bersama.
Agama tidak pernah menjadi pemicu perpecahan, karena setiap orang saling menghormati dan bertoleransi.
Agama yang mengajarkan kebaikan, seharusnya justru menjadi sumber cinta kasih dan menyatukan umat manusia, bukan memecah belah dengan menekankan perbedaan serta menyulut kebencian. Sebaiknya kita tidak ikut campur dan terpicu dengan urusan konflik antar agama di negara lain.
Karena sepanjang sejarah akan selalu ada konflik, entah konflik antara Kristen dan Katolik, Yahudi dan Islam, dan yang terbaru Islam ISIS yang bersumpah akan menghancurkan Kabah (www.tempo.co). Sebenarnya inti konflik adalah perebutan wilayah dan kekuasaan politik. Tetapi dalam kehidupan bertetangga sehari-hari, yang tidak ada urusannya dengan wilayah dan kekuasaan, perbedaan agama tidak memunculkan masalah, justru memberikan keindahan. Berita menulis tentang umat Muslim yang sholat dan adzan dari gereja di Gaza. Ada juga umat Muslim yang melindungi umat Kristen dari kekejaman ISIS di Irak.
Saya bersyukur dibesarkan di lingkungan yang mengasihi dan bertoleransi. Maya Angelou berkata, sudah waktunya bagi orang tua untuk mengajar anaknya sejak dini bahwa ada keindahan dan kekuatan dalam perbedaan. Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Keragaman Umat Manusia Membuat Toleransi Bukan Sekadar Kebajikan, Tetapi Syarat Mutlak Untuk Kelangsungan Hidup (Rene Dubos)
Penulis : Esther Idayanti
